12 April 2022

Showing posts with label syiah. Show all posts
Showing posts with label syiah. Show all posts

27 April 2015

KHAWARIJ,MU'TAZILAH, SYI'AH , MURJI'AH dan JABARIYAH


KHAWARIJ,MU'TAZILAH, SYI'AH , MURJI'AH dan JABARIYAH bagian 1


Tak bisa kita pungkiri kita hidup di zaman di mana Islam di pahami dengan berbagai macam pemahaman,yang dari sana kemudian melahirkan banyak firqoh,golongan,kelompok, gerakan dan semacamnya.

Tulisan ini akan di awali dengan mengenal berbagai macam pemahaman di masa lalu mulai dari KHAWARIJ,MU’TAZILAH,SYI’AH,MURJI’AH ,JABARIYAH,dan sebagainya . sebagian pemahaman itu telah di anggap berlalu meski kenyataannya pemahaman itu masih di anut oleh banyak orang dan kelompok di masa sekarang.Istilahnya hanya beda nama tapi hakikatnya sama.Hanya mungkin Syi’ah yang tetap ada sampai sekarang (tidak berganti nama).

Tulisan INI Insya Alloh nanti akan di lanjutkan dengan mengenal berbagai firqoh di masa sekarang apa itu IKHWANUL MUSLIMIN, HIZBUT THAHRIR, JAMA’AH TABLIGH .

Sebelum kita membahas secara singkat apa itu khawarij,mu’tazilah,dan seterusnya.ada tulisan tentang bagaimana awal mula Islam pecah menjadi beberapa pemahaman.

“Dan seandainya Tuhanmu mau, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain, ‘Seandainya Tuhanmu kehendaki niscaya berimanlahlah semua manusia di bumi.’ Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah, ‘Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain.’ Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (Ikrimah).” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Azhim, II/465) bahkan Imam Hasan al Bashri radhiallahu ‘anhu mengatakan Allah menciptakan manusia untuk berbeda, adapun Ibnu Abbas dan Thawus bin Kaisan radhiallahu ‘anhuma mengatakan untuk rahmatlah mereka diciptakan.

Pada mulanya Islam hanyalah satu, yaitu yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan oleh orang-orang beriman setelahnya yakni para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Kelak, jalan inilah yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Adapun jalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah jalan syetan yang dilakukan para ahli bid’ah yang sesat, yang akan memecah belah umat Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Al Hadits.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan memecahbelahkan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al An’am: 153)

Tetang ayat ini Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis lurus dengan tangannya lalu ia membaca ‘ Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus’ lalu ia membuat garis di kanan dan kiri garis lurus tersebut lalu bersabda, “Inilah jalan yang tidak ada darinya kecuali pasti dilalui syetan yang selalu menyeru ke jalan itu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/190)

Sementara itu kita juga diperintah untuk mengikuti jalan para sahabat, firman Allah Ta’ala yang lain:

“Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Dalam tafsir dikatakan, “Inilah jalanku dalam da’wahku, di atas keyakinan dan hujjah yang jelas, kepadanyalah seruan seluruh sahabatku dan orang-orang yang beriman kepadaku.” (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 248)

INILAH AWAL MULANYA.

Dalam perkembangan selanjutnya, pasca perselisihan pengikut Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu, umat terpecah menjadi banyak kelompok. Khususnya setelah perundingan antara Abu Musa al Asy’ary (utusan dari Ali) dengan Amr bin al Ash (utusan dari Mu’awiyah). Mereka berdua sepakat bahwa kedua-duanya (Ali dan Mu’awiyah) dicopot dari jabatan khalifah, namun tiba-tiba Amr bin al Ash kembali membaiat Mua’wiyah menjadi khalifah. Akhirnya pengikut Ali marah. Merekalah yang selanjutnya disebut syi’atu ‘ali (pengikut Ali, Syi’ah), adapun kelompok manusia yang keluar dari mereka semua adalah khawarij (dari kata kharaja, keluar), tidak mendukung Ali dan Muawiyah, bahkan mengkafirkan mereka berdua karena –menurut mereka- Ali dan Mu’awiyah tidak menggunakan hukum Allah dalam memutuskan perdamaian, melainkan menggunakan hukum manusia (Abu Musa dan Amr bin al Ash), sebenarnya cikal bakal khawarij sudah ada pada masa Rasulullah hidup.

Sedangkan, kelompok mayoritas tetap memuliakan Ali dan Muawiyah, dan orang-orang yang terlibat dalam perundingan, karena semuanya adalah sahabat nabi yang mulia, dan masing-masing punya keistimewaan. Para ulama mengatakan keduanya berijtihad, hanya saja pihak yang benar adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah keliru. Namun kesalahan dalam ijtihad mendapatkan pahala satu. Sesungguhnya, kesalahan para sahabat tidaklah menutupi segunung dan samudera kebaikan yang telah mereka persembahkan untuk Islam. itulah Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka pertengahan dalam menilai masalah ini, dan masalah-masalah lainnya.

Syaikh Said bin Ali Wahf al Qahthany berkata, “Umat Islam adalah umat pertengahan (wasath) di antara milah-milah yang ada, sebagaimana firmanNya, ‘Dan demikianlah kami jadikan kalian umatan wasathan’, dan Ahlus Sunnah merupakan umat pertengahan di antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam.” (Said bin Ali Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 48)

Jadi, perbedaan teologi dalam Islam, ternyata diawali polemik politik di antara sahabat yang sebenarnya tidak seberapa, lalu dibesarkan oleh golongan munafik dan Yahudi (Abdullah bin Saba ’).


PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG DOSA DAN IMAN Melahirkan beberapa kelompok sbb:

a.Al Haruriyah,

Bagi mereka, tidak dinamakan beriman kecuali orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka katakan: Sesungguhnya agama dan iman adalah ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi tidak bisa bertambah dan berkurang. Maka barangsiapa yang melakukan dosa besar dia kafir di dunia dan di akhirat kekal di neraka, jika ia mati sebelum bertobat.

Alharuriyah adalah salah satu sekte dari khawarij. di nisbatkan kepada daerah Harura’, yaitu daerah dekat Kufah (di Irak). Mereka berkumpuil di sana ketika mereka keluar dari pemerintahan Ali Radhiallahu ‘Anhu.

b. Al Mu’tazilah,

Bagi mereka, seseorang tidak dikatakan beriman kecuali ia menjalankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka berkata: sesungguhnya agama dan iman, adalah ucapan, amal, dan keyakinan. Tetapi tidak bertambah dan tidak berkurang. Barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka kedudukannya diantara dua tempat (manzilah baina al manzilatain) –keluar dari iman tetapi tidak kafir- itu hukum di dunia. Sedangkan di akhirat mereka kekal di neraka.

Terlihat ada dua persamaan dan dua perbedaan antara Khawarij dan Mu’tazilah.

Persamaannya adalah: Pertama, sama-sama mengingkari keimanan orang yang melakukan dosa besar. Kedua, menganggap pelaku dosa besar masuk ke neraka kekal selamanya.

Perbedaannya adalah: Pertama, menurut khawarij pelaku doa besar adalah kafir, menurut mu’tazilah mereka menyebutnya manzilah baina al manzilatain (posisinya di antara dua tempat). Kedua, khawarij menghalalkan darah pelaku dosa besar, sedangkan mu’tazilah tidak.

c. Al Murji’ah,

mereka mengatakan dosa tidaklah berdampak buruk bagi keimanan, sebagaimana ketaatan tidaklah membawa manfaat bagi kekafiran. Mereka mengatakan iman itu hanyalah dibenarkan di hati saja. Bagi mereka para pelaku dosa besar imannya tetap sempurna, dia tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka. Maka atas dasar ini, keimanan manusia paling fasiq sama saja dengan keimanan manusia paling sempurna.

d. Al Jahmiyah

berpandangan kurang lebih seperti murji’ah , bahwa bagi mereka pelaku dosa besar tetaplah sempurna imannya, dan tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka.

e. Ahlus Sunnah wal Jamaah,

mereka telah mendapatkan petunjuk Allah di atas kebenaran. Mereka mengatakan:

Sesungguhnya iman adalah ucapan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan nyata, dan diyakini dalam hati. Bisa bertambah karena ketaatan, dan berkurang karena maksiat.
Adapun dosa besar menurut mereka, membuat keimanan seseorang berkurang (tidak sempurna, pen), sesuai ukuran maksiat yang dilakukannya. Mereka tidak sampai mengingkari secara total keimanan pelaku dosa besar sebagaimana khawarij dan mu’tazilah, tidak juga mengatakan tetap sempurna keimanan pelaku dosa besar sebagaimana menurut Jahmiyah dan Murji’ah.

Adapun hukumnya di akhirat, para pelaku dosa besar itu tahta masyiatillah (di bawah kehendak Allah), jika Allah kehendaki mereka akan masuk surga karena rahmat dan karuniaNya. Jika Dia menghendaki mereka akan mendapat siksaan sesuai kadar maksiatnya secara adil. Kemudian setelah suci, mereka akan dikeluarkan dari neraka lalu dimasukkan ke dalam surga. Itu jika, dosa yang dilakukannya tidak sampai hal-hal yang membatalkan keislamannya, atau ia menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah halalkan. Ahlus Sunnah menghukumi bahwa seorang mu’min (jika melakukan dosa besar, pen) tidaklah kekal di neraka. Ini adalah pertengahan di antara khawarij dan mu’tazilah yang mengatakan kekal di neraka, atau murjiah dan jahmiyah yang mengatakan pelaku dosa tidaklah mendapat hukuman.


PERBEDAAN PENDAPAT MENGENAI SAHABAT Melahirkan kelompok-kelompok sbb:

a. Ar Rafidhah,

yaitu segolongan dari syiah, mereka melampaui batas (ghuluw) dalam memuliakan Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli Bait. Mereka memproklamirkan permusuhan terhadap mayoritas sahabat nabi seperti yang tiga (Abu Bakar, Umar, dan Utsman), mengkafirkan mereka, dan orang-orang yang mengikuti mereka, dan mengkafirkan orang-orang yang memerangi Ali (yakni Aisyah dan pengikutnya ketika perang Jamal, atau Mu’awiyah dan pengikutnya dalam perang Shiffin).

Mereka mengatakan sesungguhnya Ali adalah Imam yang ma’shum. Alasan kenapa mereka dinamakan rafidhah, karena mereka meninggalkan (rafadhuu) Zaid bin Ali bin al Husein ketika mereka mengatakan berlepas diri dari syaikhain (dua syaikh) yaitu Abu bakar dan Umar. Maka Zaid berkata: “Allah melindungi penolong kakekku” (maksudnya Allah melindungi Abu Bakar dan Umar, yang pernah menolong kakeknya, Ali bin Abi Thalib, pen). Karena itu, mereka meninggalkannya, maka mereka dinamakan rafidhah.

Sedangkan kelompok Zaidiyah mereka mengatakan, kami mengikuti mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) dan berlepas diri dari orang yang memutuskan hubungan dengan mereka berdua, dan mereka mengikuti Zaid bin Ali bin al Husein, karena itu mereka disebut Zaidiyah (lebih tenar disebut syiah zaidiyah, syiah yang moderat).

b. Al Khawarij,

mereka menerima sebagian besar sahabat, namun mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan orang-orang yang bersama mereka berdua dari kalangan sahabat, dan memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka.

c. An Nawashib,

mereka memproklamirkan permusuhan terhadap Ahli Bait dan melaknat apa-apa yang ada pada mereka.

d. Ahlus Sunnah wal Jama

Allah memberi hidayah kepada mereka untuk tetap di atas kebenaran. Mereka bersikap tidak melampaui batas terhadap Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahli bait, mereka tidak memusuhi para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim, tidak mengkafirkannya, tidak pula bersikap seperti golongan Nawashib yang memusuhi Ahli bait.

Bahkan mereka mengetahui hak keseluruhan mereka dan keutamaannya, dan mengikuti mereka serta mengutamakan mereka sesuai urutannya; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum. Dan mereka tidak mau memasuki apa-apa (perselisihan) yang terjadi di antara sahabat. Maka, mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan antara ekstrimitas rafidhah atau sikap keras khawarij. Sampai di sini.


MENGENAI ASMA WA SIFAT (NAMA DAN SIFAT ALLOH) Melahirkan berbagai pendapat sbb:


a. Al Mu’athilah,

mereka melakukan ta’thil (mengingkari, meniadakan) nama dan sifat Allah. Bagi mereka Allah tidak memiliki nama dan sifat, sebab jika memiliki keduanya, maka Allah sama dengan makhluq. Inilah yang dilakukan oleh kelompok Jahmiyah (Jahm bin Shafwan) dan mu’tazilah.

b. Al Mujassimah wal Musyabbihah,

mereka menganggap Allah memiliki jism (wujud) seperti manusia. Mereka melakukan tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (perumpamaan) Allah dengan makhluk. Allah memiliki wajah seperti wajah makhluk, tanganNya seperti makhluk, betisNya seperti makhluk, marahNya seperti makhluk, tertawaNya seperti makhluk, bersemayamNya seperti makhluk, dan lain-lain.

c. Al Asy’ariyah (al Asya’irah),

kelompok ini disandarkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Salah seorang Imam Ahlus Sunnah. Dahulu, selama tiga puluh tahun ia bermadzhab mu’tazilah (mengingkari asma dan sifat) karena pengaruh ayah tirinya seorang tokoh mu’tazilah zaman itu, yaitu Ali al Juba’i. Lalu ia bertobat menuju Ahlus Sunnah, yaitu ia mengakui asma dan sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala, namun ia memberikan ta’wil (arti-tafsir) terhadap asma dan sifat tersebut. Fase selanjutnya, yaitu pada akhir hayatnya, ia meninggalkan ta’wil secara total terhadap asma dan sifat, ia mengikuti manhaj salaf yaitu itsbat (menetapkan dan mengukuhkan) adanya asma dan sifat. Sebagaimana tertera dalam kitabnya yang terakhir yakni Al Ibanah fi Ushulid Diyanah. Jadi, ia melalui tiga fase kehidupan bermadzhab, pertama, menjadi mu’tazilah, kedua, menjadi Ahlus Sunnah tetapi masih menta’wil, ketiga, menjadi Ahlus Sunnah secara sempurna tanpa ta’wil sama sekali. Nah, Asy’ariyah adalah golongan yang mengikuti Imam al Asy’ary pada fase hidupnya yang kedua, masih melakukan ta’wil. Jadi, tidak selalu sama antara Asy’ariyah dengan Imam al Asy’ari.


DALAM MASALAH TAKDIR

a. Al Jabariyah,

mereka adalah golongan jahmiyah yang mengatakan bahwa manusia menerima begitu saja (dipaksa-majbur) atas perbuatannya, gerakannya, bahkan seluruh gerakannya hingga gemetar dan keringatnya adalah perbuatan Allah.

b. Al Qadariyah,

mereka adalah mu’tazilah yang mengikuti Ma’bad bin al Juhni dan orang-orang yang sepakat dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya manusia menciptakan perbuatannya sendiri bukan karena kehendak Allah, mereka mengingkari jika dikatakan Allah yang menciptakan perbuatan hamba-hambaNya. Mereka juga mengatakan: Allah tidak menolaknya juga tidak menghendakinya.

c. Ahlus Sunnah wal Jamaah,

Allah memberikan petunjuk kepada Ahlus Sunnah untuk menjadikan mereka pertengahan di antara dua kelompok di atas. Mereka mengatakan: Allah menciptakan manusia dan perbuatannya. Manusialah yang melakukan hakikatnya, dan mereka dianugerahi kehendak dan kemauan (qudrah) untuk berbuat. Allah-lah yang menciptakan mereka dan menciptakan kehendak (qudrah) tersebut . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan Allah yang menciptakanmu dan apa-apa yang kamu lakukan” (QS. Ash Shafat: 96).

Ahlus Sunnah menetapkan bahwa bagi manusia memiliki kehendak dan kemampuan untuk menentukan pilihan sesuai kehendak Allah Ta’ala.


Sebagaimana firmanNya:
“(Yaitu) bagi siapa saja di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan sekalian alam.” (QS. At Takwir: 28-29)


AHLUS SUNNAH WALJAMA’AH

Atau sering juga disebut thaifah manshurah (kelompok yang ditolong), firqah an najiyah (golongan yang selamat), sawadul a’zham (kelompok yang besar), salafiyah (umat terdahulu) dan isitilah inilah yang dimustahabkan oleh Imam Ibnu Taimiyah. Pengikut Ahlus Sunnah disebut sunni.

Definisi:

Tidak ada satu pun ayat dan hadits yang menyebut nama Ahlus Sunnah wal Jamaah secara langsung. Istilah tersebut merupakan racikan dari beberapa hadits. As Sunnah adalah thariqah (jalan) yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Al Jamaah secara bahasa adalah kaum yang berkumpul, namun yang dimaksud oleh aqidah ini adalah orang-orang terdahulu (salaf) dari umat ini, dari kalangan sahabat, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik walau pun seorang diri namun tetap teguh di atas kebenaran yang dianut jamaah tersebut. (Syarh al Aqidah al Wasithiyah, hal. 10-11)
Abdullah bin Mas’ud Radhilallahu ‘Anhu berkata, “Jamaah adalah apa-apa yang menyepakati kebenaran walau engkau seorang diri.” (Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul lahfan min Mashayidisy Syaithan, I/70)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Sebaik-baik manusia adalah zamanku (yakni para sahabat), kemudian setelahnya (para tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut tabi’in)” (HR. Bukhari (5/199,7/6,9/460), Muslim (7/184-185), Ibnu Majah (2/63-64), Ahmad (1/378, 417), dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Lihat Syaikh al Albany, dalam Sisilah al Ahadits Ash Shahihah no. 700)

Dari Irbadh bin Sariyah Radhialllahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Barangsiapa yang hidup setelah aku mati, kalian akan melihat banyak perselisihan, maka peganglah sunahku dan sunah khulafa’ur rasyidin setelahku, berpegangteguhlah padanya, dan gigit dengan geraham kalian.” (HR. at Tirmidzi, menurutnya hasan shahih)

Rasulullah juga bersabda,“Sesungguhnya Bani Israel terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua di neraka kecuali satu golongan, yaitu al jama’ah”. Mereka bertanya, “ golongan apa itu?” Beliau menjawab, “apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar, menurutnya hasan gharib, tidak dikenal kecuali dari sisi ini. Hadits tentang perpecahan umat juga diriwayatkan oleh yang lain seperti Ibnu Majah dari Auf bin Malik tetapi tanpa teks ‘kecuali jamaah’ (2/1322), dishahihkan Syaikh al Albany dalam Shahihul Jami’ (1/357I) dan Ash Shahihah no. 1492., Imam Ahmad (4/402), Abu Daud, Aunul Ma’bud (12/340).

Menurut Ibnu Taimiyah hadits ini shahih, menurut Ibnu hajar al Asqalany; hasan shahih. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hazm hadits ini maudhu’ (palsu) juga menurut Imam Ibnul Wazir al Yamany, bahkan dicurigai hadits ini riwayatkan orang mulhid (ateis), Syaikh Yusuf al Qaradhawy juga meragukan hadits ini)

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Senantiasa ada segolongan orang dari umatku yang tegak di atas kebenaran, orang yang tidak peduli dan berselisih dengan mereka tidaklah mencelakakan mereka. Mereka tetap demikian hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Bukhari ( 4/187), dan Muslim (3/1523) )

Imam Abdullah bin Mubarak (w. 181H) berkata tentang hadits di atas, “Menurutku mereka adalah para ulama hadits.”

Imam Ali bin al Madini (w. 234H) berkata, “Mereka adalah para pemilik hadits.”

Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H) berkata, “Mereka adalah ulama hadits, jika bukan mereka, aku tidak tahu lagi siapa mereka.”

Imam Ahmad bin Sinan (w. 259H) berkata, “Mareka adalah para ahjli ilmu dan pemilik atsar.”

Imam Bukhari (w. 256H) berkata, “Yakni para ulama hadits.” (Syaikh al Albany, Silsilah al Ahadits Ash Shahihah no. 270)

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan jamaah para sahabat dan tabi’in, serta tabi’ut tabi’in, baik diri sisi paradigma berpikir dan pengamalan terhadap agama, serta akhlak. Bukan sekedar simbolistik, tetapi esensi (ruh wa maqashid). Maka siapa-siapa saja yang mengikuti dan menempuh jalan keselamatan yang mereka tempuh secara benar, mereka juga termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah walau hidup tidak sezaman dengan mereka, bahkan walau hidup seorang diri.

Anjuran Berpegang Teguh Kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah

Imam Abul Aliyah berkata, “Hendaknya kalian berpegang teguh kepada urusan agama pertama yang dipegang manusia sebelum mereka terbagi-bagi.”
Imam Al Auza’i berkata, “Sabarkanlah dirimu dalam berpegang kepada As Sunnah, berhentilah jika manusia berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa yang mereka tahan, ikutilah jalan salafus shalih, karena yang demikian membuat jalanmu lapang sebagaimana jalan mereka yang lapang.”

Yusuf bin Asbath berkata, Sufyan (ats Tsauri) berkata kepadaku, “Wahai Yusuf, jika engkau mendengar seseorang di Timur bahwa ia beroegang kepada As Sunnah, maka sampaikan salamku padanya, dan jika di Barat engkau dengar ada yang berpegang kepada As Sunnah, maka sampaikanlah salamku padanya. Karena sedikit sekali orang dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Sufyan at Tsauri berkata, “Mintalah nasihat yang baik dari Ahlus Sunnah, karena mereka itu dianggap orang-orang asing.”

Mu’tamar bin Sulaiman berkata, “Aku menemui ayahku dengan wajah yang muram. Ayah bertanya, ‘Ada apa dengan dirimu?’ Aku menjawab, ‘Temanku meninggal dunia.’
’Apakah ia meninggal di atas As Sunnah?’ Tanya ayahku.
‘Benar’ jawabku
‘Lalu kenapa engkau sedih dengan kematiannya?’ kata ayah.
Ayyub (As Sukhtiyani) berkata, “Aku diberi tahu berita wafatnya kalagan Ahlus Sunnah, yang membuat salah satu anggota tubuhku seakan terlepas.” Dia juga berkata, “Sesungguhnya di antara kenikmatan orang Arab atau non Arab adalah jika mereka dipertemukan dengan ulama Ahlus Sunnah.”

Al junaid bin Muhammad berkata, “Semua jalan tertutup, kecuali bagi orang yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunah dan jalan beliau, maka semua jalan kebaikan terbuka di hadapannya.”

Imam Asy Syafi’i berkata,”Jika aku melihat seseorang dari Ahli hadits, seakan aku melihat seseorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Celaan Terhadap Bid’ah, Jamaah Bid’ah, dan Pelakunya

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” (HR. Muttafaq ‘Alaih, Riyadhus shalihin no. 169, Maktabatul Iman, Kairo)

Hadits serupa, “Barangsiapa yang beramal yang aku tidak pernah contoh maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Amma ba’du, sesungguhnyasebaik-baiknya perkataan adalah kitabullah, dan sbaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan seburuk-buruknya urusan (dalam agama) adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim, no. 170)

Juga ada hadits serupa dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu.

Isa bin Ali adh Dhabby berkata, Ada seseorang bersama kami yang berbeda pendapat dengan Ibrahim an Nakha’i. tak lama kemudian Ibrahim mendengar bahwa orang itu masuk ke golongan Murji’ah. Maka Ibrahim berkata, “Jika engkau meninggalkan kami, maka janganlah kembali lagi ke sini.”

Thawus bin Kaisan sedang bersama anaknya. Datanglah seorang mu’tazilah mengajaknya bicara ini dan itu. Thawus langsung menyumbat telinganya dengan ujung jari dan berkata, “Wahai anakku, tutuplah kedua telingamu, agar engkau tidak mendengar apa pun dari orang ini, karena hati kita sangat lemah.”

Salam bin Abu Muthi’ berkata, “Ada seseorang dari orang-orang yang biasa mengikuti hawa nafsu bertanya kepada Ayyub as Sukhtiyani, ‘Maukah engkau mendengarkan sepatah dua patah kata dariku ?’

Ayyub berkata, “Tidak, walau setengah kata.”

Ayyub juga berkata, “Tidaklah ahli bid’ah berijtihad, melainkan semakin membuatnya jauh dari Allah.”

Sufyan ats Tsauri berkata, “Bid’ah itu lebih Iblis sukai dibanding kedurhakaan. Kedurhakaan masih ada pahalanya, sedangkan bid’ah tidak mendapat apa-apa.”

Mu’ammal bin Ismail menceritakan ketika Abdul Aziz bin Abu Daud seorang murji’ah meninggal, manusia ingin menshalatinya. Ketika Sufyan ats Tsauri datang manusia memberinya jalan, ternyata Sufyan hanya melihat dan melewati jenazah Abdul Aziz, tidak mau menshalatinya, karena kemurjia’ahannya.

Said al Kariry berkata, “Sulaiman at Tamimy menangis tersedu-sedu saat dia sakit. Lalu ada yang bertanya, ‘Mengapa kau menangis? Apa kau takut mati?’ ”

Dia menjawab, “Tidak, tetapi aku pernah berjalan melewati seorang pengikut qadariyah, lalu aku takut Rabb akan menghisabku karena hal itu.”

Fudhail bin Iyadh berkata, “Apabila ada orang yang duduk satu majelis dengan ahli bid’ah, maka waspadailah orang itu.”

Masih banyak celaan dari para ulama salafus shalih terhadap bid’ah dan pelakunya.

13 April 2015

SALAH FAHAM PENCETUS PERANG - Apakah Aisyah Berniat Memerangi Ali dalam Perang Jamal?

RINGKASAN
Perang Jamal atau Perang Unta

TARIKH: 11 JAMADILAKHIR 36H / DISEMBER 657M

MASA: KURANG DARI 24 JAM

PUNCA : SALAH FAHAM

PESERTA:
PIHAK SAIDINA ALI , PIHAK AISYAH, PIHAK MUNAFIQ PIMPINAN ABDULLAH BIN SABA’(golongan Saba’iyyah iaitu pihak yang membunuh Saidina Uthman)

TOKOH  BESAR YANG TERLIBAT:
-SAIDINA ALI
-SITI AISYAH UMMUL MUKMININ
-TALHAH IBNU UBAIDILLAH
-ABU ABDULLAH ZUBAIR IBNU AL AWWAM

(TALHAH & ZUBAIR SYAHID DI DALAM PEPERANGAN INI, MEREKA TERMASUK DALAM 10 SAHABAT YANG DIJAMIN SYURGA OLEH RASULULLAH)

TEKNIK SERANGAN: MERPETAHANKAN DIRI/SELF DEFENCE
PIHAK YANG MENANG: SAIDINA ALI
PIHAK YANG TERKORBAN: 10-13 RIBU ORANG


Pada tahun 656 masihi, khalifah ketiga Islam iaitu Saidina Uthman bin Affan wafat kerana dibunuh oleh puak pemberontak di dalam rumahnya sendiri. Pemberontakan mereka atas sebab tidak puas hati dengan Saidina Uthman yang dikatakan mengamalkan nepotisme dan menggunakan harta baitul mal untuk keluarganya. Atas keputusan ahli Syura mencadangkan Saidina Ali supaya menjadi khalifah tetapi Saidina Ali menolak. Tetapi selepas didesak, beliau akhirnya menerima untuk menjadi khalifah

Nepotisme bermaksud melebihkan saudara-mara serta rakan-rakan yang ada hubungan dan bukannya penilaian objektif bagi keupayaan, meritokrasi atau kekesuaian terhadap sesuatu jawatan. Contohnya, tawaran jawatan kosong kepada saudara-mara, walaupun masih ada lagi orang lain yang lebih layak serta sanggup melaksanakan tugas sedemikian. Perkataan nepotisme berasal daripada perkataan Latin 'nepos', yang bermaksud "anak saudara" atau "cucu".[1]

Pentadbiran saidina Ali

Perkara pertama beliau lakukan selepas dilantik menjadi khalifah ialah mencari pembunuh saidina Uthman mengikut saluran undang-undang Islam. dengan menghapuskan pemberontakan yang hendak dibuat oleh golongan Rafidhah/Sabaiyyah yang menghasut para sahabat. Isteri Rasulullah iaitu Ummul Mukminin Saidatina Aisyah, dan dua orang sahabat Nabi iaitu Talhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam telah terlibat sama. Pemberontakan itu berjaya ditumpaskan oleh Saidina Ali dalam Perang Jamal (juga dikenali sebagai Perang Unta). Dalam peperangan ini, Talhah dan Zubair terkorban akibat dibunuh oleh golongan Rafidhah/Sabaiyyah  yang mengaku sebagai pengikut Saidina Ali. Manakala Saidatina Aisyah dikembalikan ke Madinah oleh Saidina Ali. Beliau menjalankan satu misi dengan mengarahkan 100 orang wanita menyamar lelaki dan menutup muka, lalu menarik unta Ummul Mukminin Aisyah kembali ke Madinah.

Namun ada juga yang mengatakan: Keluarnya Aisyah bersama Thalhah dan Az Zubair bin Al Awwam ke Bashrah dalam rangka mempersatukan kekuatan mereka bersama Ali bin Abi Thalib untuk menegakkan hukum qishash terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Hanya saja Ali bin Abi Thalib meminta penundaan untuk menunaikan permintaan qishash tersebut. Ini semua mereka lakukan berdasarkan ijtihad walaupun Ali bin Abi Thalib lebih mendekati kebenaran daripada mereka. [2]

Selepas itu, Saidina Ali melantik gabenor-gabenor baru bagi menggantikan pentadbir-pentadbir yang dilantik oleh Saidina Uthman. Saidina Ali memindahkan pusat pentadbiran Islam daripada Madinah ke Kufah, Iraq. Kota Damsyik, Syria pula ditadbir oleh Muawiyah, Gabenor Syria dan saudara Saidina Uthman. Muawiyah telah dilantik sebagai Gabenor pada masa pemerintahan Saidina Umar lagi.

Kenapa dinamakan perang unta?

Manakala Aisyah radhiallahu ‘anha hanya berada di atas pelana untanya, beliau tidak menyerang dan tidak memerintahkan serangan. Demikianlah yang diterangkan oleh tidak seorang daripada para ilmuan dalam bidang sejarah (Ahl al-Ma’rifat bi al-Akhbar).” [3]

KERANA DI DALAM PEPERANGAN INI SITI AISYAH DUDUK DI ATAS UNTA

Perang Jamal kebenaran yang tersembunyi

Setelah Talhah dan Zubair membaiah Saidina Ali sebagai Khalifah, mereka meminta izin untuk melakukan umrah.

Disana mereka bertemu dengan  Ummul Mukminin Aisyah, di dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk meminta Saidina Ali mempercepatkan qisas keatas pembunuh Saidina Uthman.

Selang beberapa hari kemudian, mereka bertiga beserta beribu-ribu pengikut-pengikut bergerak ke Basrah.
Saidina Ali yang mendengar berita tersebut, juga mempersiapkan tentera, tetapi bukan untuk berperang, hanya sebagai langkah berjaga-jaga, dan beliau mengutus  qa’qa’, untuk berunding dan bertanya tujuan kedatangan mereka. Aisyah menjawab: “wahai anakku, untuk keamanan manusia”.

Jadi Aisyah beserta dua sahabat lagi menyatakan persetujuan untuk bergabung dengan pihak Saidina Ali, bagi membanteras pemberontak, yang telah menimbulkan huru-hara, serta membunuh Khalifah Uthman dengan kejam.

Malam sebelum berlakunya peperangan Jamal, pihak pemberontak yang bertanggungjawab atas pembunuhan Khalifah Uthman berasa gelisah yang amat, kerana  mereka tahu  apabila pihak Aisyah bergabung dengan pihak Saidina Ali, lambat laun tembelang mereka akan pecah, dan mereka pasti di qisaskan atau di hukum. Sebelum fajar menyinsing, para pemberontak yang menghampiri angka 2000 orang, telah mencipta fitnah, mereka menyerang kubu pihak Ali dan Aisyah. Maka tercetuslah salah faham, Aisyah menyangka pihak Ali telah khianat dan menyerang mereka, begitu juga Ali menyangka sebaliknya, jadi tercetuslah peperangan Jamal, beribu-ribu umat Islam meninggal. Talhah syahid di dalam peperangan itu, manakala Zubair, tidak mengikuti peperangan tersebut, kerana beliau mendengar Nabi bersabda, yang beliau (Zubair) akan berselisih dengan Saidina Ali dan beliau di pihak yang salah, maka beliau menuju ke Wadi Suba’, tetapi di bunuh oleh Amir bin Jurmuz ketika solat.

Ali memberitahu Rasulullah bersabda”Pembunuh Zubair di Neraka”

“Sesungguhnya Aisyah tidak diperangi dan tidak pergi untuk berperang. Sesungguhnya beliau pergi hanya untuk kebaikan umat Islam. Beliau menjangkakan pada pemergiannya terdapat kemaslahatan kepada umat Islam. Kemudian sesudah itu jelas baginya bahawa meninggalkan pemergian tersebut adalah lebih tepat. Maka setelah itu apabila sahaja beliau mengingat kembali pemergiannya itu, beliau menangis sehingga membasahi kain tudungnya.”[4]

Aisyah dihantar pulang ke Madinah, diiringi sepasukan wanita, yang bersenjata.

Sekalipun aliran Syi`ah telah diharamkan di Malaysia, sebahagian daripada ajaran mereka masih tersebar luas. Di antaranya ialah berkenaan sejarah para sahabat, dimana banyak buku-buku tempatan yang memuatkan kisah tersebut berdasarkan versi Syi`ah. Sejarah versi Syi`ah mudah dikenali, ia bersifat pro kepada Ali bin Abi Thalib serta ahli keluarganya dan bersifat kontra kepada para sahabat yang lain. Kisah-kisah sejarah versi Syi`ah telah mendapat tempat yang kukuh dalam pemikiran umat Islam tanah air sejak di bangku sekolah sehingga dianggap ia adalah fakta yang benar.[5]

Aisyah memberontak kepada Ali?

Antara sejarah versi Syi`ah yang masyhur adalah Perang Jamal merupakan pemberontakan yang diketuai oleh Aisyah ke atas Ali bin Thalib. Kenyataan ini memerlukan penelitian semula: Benarkah Perang Jamal adalah satu gerakan pemberontakan ke atas Ali yang diketuai oleh Aisyah?

Perang Jamal bermula apabila Aisyah, Thalhah dan al-Zubair radhiallahu ‘anhum serta orang-orang yang bersama mereka pergi ke Basrah selepas pengangkatan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh menjadi khalifah umat Islam. Semua ini berlaku selepas pembunuhan Amirul Mukminin Usman bin Affan radhiallahu ‘anh. Melihatkan pemergian Aisyah dan pasukannya, Amirul Mukminin Ali turut pergi ke Basrah bersama pasukannya. Apabila menghampiri Basrah, kedua-dua pasukan ini telah bertembung dan dengan itu berlakulah satu peperangan yang dinamakan Perang Jamal. Ia dinamakan sedemikian kerana Aisyah berada di atas unta (Jamal) ketika peperangan tersebut.

Dalam peristiwa ini, timbul dua persoalan. Yang pertama, kenapakah Aisyah dan pasukannya bergerak ke Basrah? Al-Qadhi Ibn al-Arabi rahimahullah (543H) menerangkan bahawa orang ramai mengemukakan beberapa pendapat. Ada yang berkata mereka keluar kerana ingin melucutkan Ali daripada jawatan khalifah. Ada yang berkata mereka benci kepada Ali. Ada yang berkata mereka ingin mencari para pembunuh Usman. Ada yang berkata mereka keluar untuk menyatu-padukan semula umat Islam. Di antara semua pendapat ini, yang benar adalah yang terakhir. Al-Qadhi Ibn al-Arabi menegaskan:

“Mungkin mereka keluar demi keseluruhan umat Islam, mengumpulkan dan menyatu-padukan mereka kepada undang-undang yang satu (Islam) agar tidak berlaku kebingungan yang akan mengakibatkan peperangan. Dan inilah pendapat yang benar, tidak yang lainnya.”[6]

Sebelum itu hal yang sama ditegaskan oleh al-Imam Ibn Hazm rahimahullah (456H):

“Dan adapun (pemergian) Ummul Mukminin (Aisyah), al-Zubair dan Thalhah radhiallahu ‘anhum berserta orang-orang yang bersama mereka (ke Basrah), tidaklah mereka sedikit jua bertujuan membatalkan kekhalifahan Ali, mereka tidak mencabar jawatan tersebut, mereka tidak menyebut apa-apa kecacatan yang merendahkan beliau daripada jawatan tersebut, mereka tidak bertujuan mengangkat khalifah baru yang lain dan mereka tidak memperbaharui bai`ah kepada sesiapa yang lain. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari oleh sesiapa jua dengan apa cara jua.

Kebenaran yang sebenar yang tidak memiliki apa-apa permasalahan padanya adalah mereka tidak pergi ke Basrah untuk memerangi Ali atau menentangnya atau mencabut bai`ah daripadanya ,yang benar mereka berangkat ke Basrah tidak lain untuk menutup (daripada berlakunya) perpecahan yang baru dalam Islam disebabkan peristiwa pembunuhan yang zalim ke atas Amirul Mukminin Usman radhiallahu ‘anh.” [7]
Berdasarkan penerangan di atas, jelas kepada kita bahawa dalam pemergiannya ke Basrah, Aisyah radhiallahu ‘anha tidak memiliki tujuan berperang atau memberontak terhadap Ali radhiallahu ‘anh. Ini membawa kita ke persoalan kedua, jika demikian kenapakah kedua-dua pasukan ini bertembung dan berperang?

Kenapakah berlakunya Perang Jamal?

Al-Imam Ibn Hazm melanjutkan, pasukan Ali turut ke Basrah bukan untuk memerangi pasukan Aisyah tetapi untuk bersatu dengan mereka, menguatkan mereka dan menyatukan umat Islam dalam menghadapi peristiwa pembunuhan Usman.[8]

Akan tetapi pada waktu yang sama wujud juga orang-orang yang sebelum itu terlibat dalam pembunuhan Usman. Mereka menyamar diri dengan berselindung di kalangan umat Islam. Apabila melihat Aisyah dan pasukannya pergi ke Basrah, mereka menyalakan api fitnah kononnya pemergian tersebut adalah kerana perpecahan daripada kekhalifahan Ali. Namun apabila para pembunuh Usman mendapat tahu bahawa pasukan Aisyah dan Ali telah bersatu, mereka menjadi bimbang lagi cemas. Ini kerana selagi mana umat Islam berpecah, selagi itulah para pembunuh Usman terselamat daripada apa-apa tindakan. Sebaliknya jika umat Islam bersatu, pasti kesatuan tersebut akan memudahkan tindakan diambil ke atas para pembunuh Usman.
Maka para pembunuh Usman merancang untuk melagakan kedua-dua pasukan tersebut. Pada awal pagi ketika hari masih gelap, mereka menyerang pasukan Aisyah. Dalam suasana terperanjat daripada tidur yang lena, pasukan Aisyah menyangka bahawa pasukan Ali telah berlaku khianat dan menyerang mereka. Sebagai tindakan mempertahankan diri sendiri (self defense), mereka menyerang balas ke atas pasukan Ali. Pasukan Ali pula menyangka pasukan Aisyah telah berlaku khianat dan menyerang mereka. Dengan itu mereka menyerang balas, juga sebagai tindakan mempertahankan diri sendiri. Tanpa disangka-sangka, bermulalah Perang Jamal sekali pun kedua-dua pihak pada asalnya tidak memiliki apa-apa tujuan berperang.

Al-Hafiz Ibn Katsir rahimahullah (774H) memperincikan detik-detik yang mengakibatkan bermulanya Perang Jamal:

“Orang-orangpun merasa tenang lagi lega  pada waktu malamnya kedua-dua pihak bermalam dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi para pembunuh Usman melalui malam tersebut dalam keadaan yang seburuk-buruknya. Mereka berbincang dan bersepakat untuk mengobarkan peperangan pada awal pagi esoknya. Mereka bangun sebelum terbit fajar, jumlah mereka menghampiri seribu orang. Masing-masing kelompok bergabung dengan pasukannya lalu menyerang mereka (pasukan Aisyah) dengan pedang. Setiap golongan bergegas menuju kaumnya untuk melindungi mereka. Orang-orang (pasukan Aisyah) bangun dari tidur dan terus mengangkat senjata. Mereka berkata: “Penduduk Kufah (pasukan Ali) menyerbu kita pada malam hari, mereka mengkhianati kita!”

Mereka (pasukan Aisyah) mengira bahawa para penyerang itu berasal dari pasukan Ali. Suasana hura hara tersebut sampai ke pengetahuan Ali, lalu beliau bertanya: “Apa yang terjadi kepada orang ramai?” Mereka menjawab: “Penduduk Basrah (pasukan Aisyah) menyerang kita!”

Maka kedua-dua pihak mengangkat senjata masing-masing, mengenakan baju perang dan menaiki kuda masing-masing. Tidak ada seorang jua yang menyedari apa yang sebenarnya terjadi.” [9]

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) meringkaskan detik-detik ini dalam satu perenggan:
“Mereka (para pembunuh Usman) menyerang khemah Thalhah dan al-Zubair. Lalu Thalhah dan al-Zubair menyangka bahawa Ali telah menyerang mereka, maka mereka menyerang kembali untuk mempertahankan diri (self defense). Seterusnya Ali pula menyangka bahawa mereka (Thalhah dan al-Zubair) menyerangnya, maka Ali menyerang kembali untuk mempertahankan diri. Maka berlakulah fitnah (peperangan) tanpa ia menjadi pilihan mereka (kedua-dua pihak).

Manakala Aisyah radhiallahu ‘anha hanya berada di atas pelana untanya, beliau tidak menyerang dan tidak memerintahkan serangan. Demikianlah yang diterangkan oleh tidak seorang daripada para ilmuan dalam bidang sejarah (Ahl al-Ma’rifat bi al-Akhbar).” [10]

Demikianlah penjelasan para ilmuan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah berkenaan Perang Jamal. Kembali kepada persoalan asal pada permulaan artikel ini: Benarkah Perang Jamal adalah satu gerakan pemberontakan ke atas Ali yang diketuai oleh Aisyah? Penjelasan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah menjadi jawapan kepada persoalan asas ini,:

“Sesungguhnya Aisyah tidak diperangi dan tidak pergi untuk berperang. Sesungguhnya beliau pergi hanya untuk kebaikan umat Islam. Beliau menjangkakan pada pemergiannya terdapat kemaslahatan kepada umat Islam. Kemudian sesudah itu jelas baginya bahawa meninggalkan pemergian tersebut adalah lebih tepat. Maka setelah itu apabila sahaja beliau mengingat kembali pemergiannya itu, beliau menangis sehingga membasahi kain tudungnya.” [Minhaj al-Sunnah, jld. 4, ms. 316]

Pada malam harinya (Perang Jamal berlangsung pada malam hari) kaum munafiquun menyusup ke barisan sahabat Thalhah ra. dan Zubair ra. dan melakukan penyerangan mendadak.  Kerana merasa diserang maka kubu Thalhah ra. dan Zubair ra. balas menyerang ke pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan perang besar pun tak terhindarkan.  Perang ini disebut Perang Jamal dan berakhir dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib ra. dan meninggalnya 2 orang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Thalhah ra. dan Zubair ra.

Riwayat-riwayat yang sahih menyebutkan bahawa tujuan sebenar Talhah, al-Zubair dan orang-orang yang bersama mereka keluar ialah untuk membaiki keadaan dan menghapuskan orang-orang yang melakukan kerosakan dengan membunuh Uthman. Mereka tidak keluar untuk kepentingan kuasa atau mana-mana tujuan duniawi bahkan mereka sekali-kali tidak bermaksud untuk  memerangi Ali dan orang-orang Islam bersamanya.[11]

Hakikat ini telah dikemukakan oleh Ibn Kathir. Beliau menulis: “Sesungguhnya Ali telah mengutuskan al-Qa`qa` sebagi utusan untuk menemui Talhah dan al-Zubair mengajak mereka kepada kesatuan dan jamaah dan menyatakan kepada mereka berdua betapa besarnya perpecahan dan perselisihan. Lalu al-Qa`qa` menuju ke Basrah dan orang yang pertama ditemuinya ialah `Aishah. 

Beliau berkata: “Wahai Ummu Mukminin, apakah yang mendorong ibu menjejakkan kaki di bumi ini?”.

`Aishah menjawab: “Wahai anakku, untuk mendamaikan antara manusia.”
Kemudian al-Qa`qa` meminta supaya `Aishah menjemput Talhah dan al-Zubair datang menemui `Aishah lalu mereka berdua tiba.

Al-Qa`qa` berkata: “Saya telah bertanya kepada Ummu Mukminin sebab mengapa beliau menjejakkan kaki ke sini dan beliau menjawab untuk mendamaikan antara manusia.” 

Lalu mereka berdua menyatakan: “Kami pun dengan tujuan yang sama.”
Jelas dari riwayat di atas Aishah, Talhah dan al-Zubair mengatakan bahawa mereka datang hanya untuk mendamaikan antara manusia.
Sesungguhnya mereka telah bercakap benar dan Syi`ah telah berdusta. Ini dibuktikan dengan mereka telah berdamai dan Ibn Kathir telah menyebutkan daripada Ali ketika beliau ditanya oleh Abu Salam al-Dala’i:
“Adakah mereka itu (Mu`awiyah dan orang-orang bersamanya) mempunyai hujah berkenaan tuntutan mereka terhadap darah ini (darah Uthman) jika mereka benar-benar ikhlas kerana Allah dalam perkara ini?
Ali menjawab: “Ya.”

Abu Salam bertanya lagi: “Adakah tuan mempunyai hujah mengapa tuan menangguhkannya?”
Ali menjawab: “Ya.” Apa yang dikatakan oleh Ali ini merupakan pegangan Ahli Sunnah berkenaan  peristiwa yang berlaku sesama sahabat.
Ahli sunnah beriktiqad bahawa masing-masing mereka itu mujtahid, jika benar mereka mendapat dua pahala tetapi jika tersilap mereka mendapat satu sahaja. Para sahabat telah bersetuju untuk tidak meneruskan perselisihan tersebut dan tidak terlintas kepada mereka kecuali segala-galanya telah berakhir dan tidak ada sebarang peperangan.

Namun golongan Saba’iyyah yang melakukan pembunuhan khalifah Uthman tidak berpuas hati lalu mereka mengatur satu pakatan untuk mencetuskan peperangan maka berlakulah peperangan Jamal.

Ini telah dinyatakan oleh Ibn Kathir dan lain-lain bahawa al-Qa`qa` apabila dihantar oleh Ali untuk menemui Talhah, al-Zubair dan `Aishah dan menawarkan kepada mereka perdamaian. 

Mereka menjawab: “Kamu memang benar dan melakukan yang terbaik. Oleh itu, pulanglah, jika Ali datang dan dia berpandangan seperti kamu, keadaan akan menjadi baik.” 
Lalu al-Qa`qa` pulang menemui Ali dan mencerita apa yang berlaku dan itu benar-benar mengkagumkan Ali. Kemudian Ali menemui orang-orangnya supaya mereka sama-sama berdamai. Lalu mereka yang benci, tetap membenci dan orang yang reda, tetap reda.
`Aishah kemudiannya menulis surat kepada kepada Ali menyatakan beliau datang untuk tujuan perdamaian, lalu pihak masing-masing gembira.

Kemudian Ali menulis kepada Talhah dan al-Zubair: “Jika pendirian kamu berdua masih seperti ketika al-Qa`qa` meninggalkan kamu berdua, maka tunggulah sehingga kami datang dan membincangkan perkara ini. Lalu mereka berdua menjawab: “Sesungguhnya kami masih lagi berpendirian seperti ketika al-Qa`qa` meninggalkan kami iaitu untuk berdamai.

” Hati dan jiwa kedua-dua belah pihak menjadi tenang dan reda lalu mereka berkumpul. Pada waktu petang Ali menghantar Abdullah bin Abbas sebagai wakil dan pihak Talhah menghantar Tulaihah al-Sajjad.
Pada malam itu, mereka melalui malam yang paling baik dan indah tetapi pembunuh-pembunuh Uthman melalui malam yang paling buruk bagi mereka dan mereka merancang dan berpakat untuk mencetuskan peperangan pada waktu malam yang akhir.

Lalu mereka keluar sebelum fajar menyinsing.Bilangan mereka itu hampir 2,000 orang. Masing-masing menuju kepada yang berdekatan mereka dan melancarkan serangan dengan pedang-pedang. Maka setiap kumpulan bangkit menuju ke pasukan masing-masing untuk menghalang mereka. Orang ramai terjaga dari tidur dan mendapatkan senjata. 

Mereka berteriak: Ahli Kufah telah mendatangi dan menyerang kami pada waktu malam. Mereka telah menipu kita.Mereka menyangka ini adalah perbuatan orang-orang Ali. Lalu hal ini sampai kepengetahuan Ali dan beliau bertanya: "Apa yang telah terjadi kepada orang ramai?" 

Mereka menjawab: "Ahli Basrah telah menyerang kami pada waktu malam." Lalu semua kumpulan mendapatkan senjata, memakai baju besi dan menaiki kuda. Tidak siapapun di kalangan mereka yang menyedari perkara sebenar yang terjadi. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.


Biodata Talhah ibn Ubaidillah [12](Pahlawan Perang Uhud)

Pada awalnya, Talhah ibn Ubaidillah merupakan seorang peniaga kain yang berasal dari Makkah. Kerap berniaga dan membawa barangan berharga di Syria. Ibunya bernama Sa'abah binti al-Hadrami.
Masuk Islam setelah berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani ketika berniaga di Busra. Ketahanannya diuji dengan seksaan yang diterima oleh beliau dan Abu Bakar ketika di Makkah
Rasulullah menggelarkan beliau sebagai "Syahid yang hidup" kerana keadaan fizikalnya ketika itu yang sudah cedera akibat terlibat dengan banyak pertempuran bersama baginda. Hadis Nabi berkenaan kehebatan beliau:

"Barangsiapa yang ingin melihat syahid yang sedang berjalan di muka bumi ini, lihatlah pada Talhah ibn Ubaidillah"

Beliau merupakan pelindung bagi Rasulullah semasa Perang Uhud ketika umat Islam dalam keadaan terdesak akibat serangan kaum Musyrikin Makkah. Terlibat dalam siri Peperangan Islam-Rom Byzantine. Ketika Perang Jamal, beliau berada di pihak Saidatina Aishah binti Abu Bakar. Beliau akhirnya terkorban akibat lembing beracun yang dilemparkan oleh Marwan bin al-Hakam.

Surah Al-Ahzab:23
“Di antara orang-orang mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka kepada Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebahagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya walaupun sedikit…”

Setelah Rasulullah membaca ayat yang mulia itu, beliau menatap wajah para sahabatnya sambil menunjuk kepada Talhah sabdanya:

“Siapa yang suka melihat seorang manusia yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah…!”[13]

Biodata Zubair Al-Awwam (Pembela Rasulullah)[14]

Zubair dan Talhah telah dipersaudarakan oleh Rasulullah di Mekah sebelum hijrah. Rasulullah juga pernah bersabda:

“Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di dalam syurga”. 

Zubair dan Talhah juga dari keturunan yang bersambung dengan Rasulullah. 

Talhah bertemu keturunan dengan Rasulullah pada Murrah bin Kaab. 

Zubair pula bertemu nasab dengan Rasulullah pada Qusai bin Kilab, dan ibunya Shafiah, adalah saudara perempuan ayah Rasulullah(Abdullah). 

Zubair termasuk dalam golongan tujuh orang yang mula-mula menyatakan keislaman, pada permulaan dakwah Rasulullah.

Kecintaan dan penghargaan  Rasulullah buat Zubair, amat besar sekali, sabdanya

“Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam..” Ia adalah sepupu Rasullah dan merupakan suami kepada Asma binti Abu Bakar Al-Siddiq.

Sewaktu berlaku perang Jamal akibat salah faham, Saidina Ali sempat bertemu Zubair dan Talhah, katanya 

“Wahai Zubair, aku minta kau jawab kerana Allah! Tidakkah engkau ingat, sewaktu Rasulullah menghampiri kita yang sedang berkumpul bersama, lalu beliau (Rasulullah) bersabda 
“Wahai Zubair, tidakkah engkau mengasihi Ali..” 

kemudian engkau menjawab “Kenapa pula aku tidak mengasihi saudara sepupuku, anak kepada ibu dan bapa saudaraku, serta se akidah denganku…” 

Rasulullah bersabda lagi “Hai Zubair demi Allah, bila engkau memeranginya (Ali), jelas engkau telah berlaku zalim kepadanya…” Sewaktu itu Zubair tersedar akan kesilapannya “Ya, sekarang aku ingat, hampir aku terlupa (sabda Rasulullah), demi Allah aku tidak akan memerangimu."

Talhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara itu. Mereka menghentikan perlawanan setelah tahu kedudukan sebenar peperangan itu, tambahan pula apabila mereka terlihat Ammar bin Yasir berperang di pihak saidina Ali. Mereka teringat sabda Rasulullah kepada Ammar “Yang akan membunuhmu ialah golongan yang derhaka…”

Mereka lalu mengundur diri, Zubair diikuti oleh Amru bin Jarmuz, lalu dibunuh sewaktu, Zubair sedang solat, manakala Talhah dipanah oleh Marwan bin Hakam.

Si pembunuh pergi kepada Imam Ali, dengan bermaksud memberitahu beliau tentang tindakannya terhadap Zubair dengan dugaan Ali akan gembira, malah dia turut membawa pedang Zubair yang diambilnya selepas melakukan kejahatan yang sangat kejam itu , maka berteriak keras Ali, apabila mengetahui di muka pintu itu, ada pembunuh Zubair, sahabat yang sangat dicintai Rasulullah, beliau memerintahkan orang mengusir Amru 

“Sampaikan berita kepada pembunuh putera ibu Shafiah itu, bahawa untuknya telah disediakan api neraka…”

Sewaktu pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, bercucur lagi air mata sahabat Nabi, yang merupakan sepupu, menantu, dan golongan sahabat Nabi yang dijamin syurga, sambil mencium pedang itu katanya “Demi Allah pedang ini sudah banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya (Zubair) untuk melindungi Rasulullah dari ancaman bahaya…”

Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di medan peperangan Jamal. semuanya disolatkan, baik yang bertempur di pihaknya mahupun di pihak yang menentangnya. Setelah selesai mengebumikan Talhah dan Zubair beliau berkata

“Sesungguhnya aku amat berharap agar aku bersama Talhah, Zubair, Utsman, termasuk di antara orang-orang yang difirmankan Allah

Al-Hijr:47

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka sebagai layaknya orang yang bersaudara, dan di atas pelamin mereka duduk dengan gembira secara berhadap-hadapan…”
Kemudian disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati yang bersih dan penuh belas kasihan sambil berkata

“Kedua telingaku ini mendengar sendiri sabda Rasulullah, Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam syurga…”

Diambil dari http://umairahamzah.blogspot.com/2012/06/ringkasan-perang-jamal-atau-perang-unta.html