Adalah masalah kehendak bebas atau tidak bebas adalah satu masalah yang telah lama diperdebatkan yang dalam dunia Muslim diperbincangkan oleh empat kelompok seperti Jabariyah, Qadariyah, Mutazilah dan Asy Ariyah
Sejak dahulu hal itu diperdebatkan oleh ahli Ilmu Kalam dan ahli Ilmu Tauhid sampai mereka lupa bahwa sesama muslim harus bermusyawarah dalam mengentaskan masalah yang sulit. Tetapi malahan mereka cekcok dan saling bermusuhan sesamanya.
Jabariyah
Satu kelompok di antara mereka mengatakan bahwa manusia itu hanyalah musayyar yakni sebaiknya manusia itu hanya mengikuti saja apa-apa yang harus dikerjakan, karena ia tak dapat memilih di antara beberapa alternatif. Dia tak bebas berbuat dan berkehendak sesuai dengan pilihannya, tetapi ia hanya terpaksa di dalam melakukan perbuatan tertentu. Inilah yang dinamakan Jabariyah.
Qadariyah
Kelompok kedua adalah kaum Qadariyah yang secara singkat berpendapat bahwa manusia itu bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan mutlak, baik dalam masalah kebaikan dan keburukan.
Mutazilah
Kelompok ketiga adalah kaum Mutazilah yang sedikit ekstrim dari kaum Qadariyah yang menambahkan pendapat kelompok kedua dengan pendapat bahwa Allah itu bukanlah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menciptakan segala gerak-geriknya. Jelas ini berlawanan sekali dengan kelompok kesatu yang berpendapat bahwa manusia itu musayyar, tetapi pendapat mereka adalah mukhayyar yakni bahwa manusia itu bebas dengan mutlak memilih apa saja yang dikehendakinya kebaikan atau keburukan.
Asyariyah
Kelompok keempat adalah kaum Asy Ariyah, yang berpendapat bahwa segala perbuatan baik dan buruk itu adalah kehendak Allah, tetapi manusia diwajibkan berikhtiar agar mengusahakan perbuatan yang baik sesuai dengan petunjuk Al Quran dan Al Hadits. Allah memang menciptakan amalan manusia ketika manusia melakukannya. Allah itu menjadikan kenyang ketika manusia makan, menjadikan pandai ketika orang itu belajar, menjadikan sesuatu terbakar ketika sesuatu itu dibakar.
Pendapat kelompok manakah yang cocok dengan pribadi Anda sekalian dan bagaimanakah pula dengan mereka yang mendakwakan dirinya sebagai muslim, dengan mereka yang dijuluki sebagai cendekiawan?. Inilah secuplik pengalaman seorang aktivis.
Adalah ketika seorang aktivis di suatu saat berbeda pendapat dengan pemerintah tentang banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Dimana ternyata hasil perhitungan beliau itu lebih banyak dari hasil perhitungan pemerintah dan ternyata pemerintah menggunakan ukuran garis kemiskinan yang lebih longgar dari sang aktivis sehingga yang seharusnya miskin masih dihitung sebagai orang mampu.
Sang aktivis menyatakan melihat kenyataan ini biasanya kita menggunakan “tunjangan teologis” untuk membenarkan adanya kemiskinan dan usaha untuk melestarikan kemiskinan itu. Padahal secara fitrahnya manusia akan merasa bersalah, merasa berdosa dan tak akan tenang dalam kehidupannya bila ia melakukan perampasan hak-hak orang lain. Tetapi justru para teolog para ahli keagamaan memberikan pembenaran teologis untuk usaha melestarikan kemiskinan itu, sehingga yang merampas hak orang lain itu akan lebih tenang (dibela oleh para ahli agama?)
Sang aktivis memberikan contoh pengalaman betapa sangat mengecewakan dan menyedihkan bahwa sebagian besar pemikiran para pemimpin yang belum memenuhi ajaran standar hakiki yang dikehendaki. Dalam suatu seminar yang dihadiri sang aktivis tentang kemiskinan di satu universitas di Jakarta dibicarakan “Bagaimana pandangan Islam tentang kemiskinan?” Hadir sebagai pembicara dalam seminar itu seorang profesor yang menyatakan “Tidak mungkin kemiskinan itu dihilangkan karena itu sudah merupakan ketentuan/takdir Allah.” beliau memperkuatnya dengan ayat “Allahlah yang memperluas rezeki dan mempersempit rezeki itu“ Atau dengan pengertian umumnya : bila ada orang miskin maka hal itu sudah merupakan kehendak Allah.“
Seorang profesor yang lain menyambutnya dengan “Kemiskinan itu giliran saya sekarang yang Allah gilirkan di antara mereka.” Beliau juga mengutip satu ayat “Dan hari-hari itu Kami pergilirkan di antara manusia.” Oleh itu, kata sang profesor, kita bersabar saja menunggu giliran kapan kita akan menjadi makmur!
Seorang profesor yang lain juga menambah suasana ramai karena menyatakan hal yang sama dan menyambung “Yang kita pikirkan sebenarnya adalah bukan bagaimana kita mengatasi kemiskinan. Itu sudah tidak bisa diatasi. Itu sudah ada sepanjang sejarah. Yang harus kita pikirkan dan usahakan adalah bagaimana kita menanamkan pada pikiran mereka pada keyakinan mereka akan kesediaan mereka untuk menerima kemiskinan yang mereka derita, dan bagaimana caranya agar mereka merasa tenang dan tenteram dalam suasana kemiskinan itu. Atau dengan kata lain kita sebagai muslim harus berusaha menyebarkan ilusi kepada mereka, agar supaya mereka merasa kaya dalam kemiskinannya.” ???
Aktivis kita hanya dapat membisu seribu bahasa dan sedih luar biasa disertai linangan air mata mendengar para cendekiawan di republik ini mempunyai pemikiran yang demikian, bagaimanakah dengan pemikiran umat secara keseluruhannya.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya dasar pembenaran teologis untuk kemiskinan yang kita derita sekarang. Kita mempunyai pembenaran ajaran agama untuk semua proses kemiskinan umat. Jadi ada teologi kemiskinan di samping ada teologi pembebasan. Yang dimaksud adalah segala upaya pembenaran terjadinya kemiskinan dan proses kemiskinan umat dengan pembenaran teologis.
Sekarang apa yang dimaksudkan dengan pembenaran teologis. Istilah teologis tidak begitu dikenal dalam pemikiran muslim. Teologis berasal dari orang Kristen. Tetapi bukankah dalam sejarah Islam juga banyak jalur pemikiran.
- Pertama, orang yang mengkonsentrasikan pemikirannya pada masalah filsafat, khususnya pada filsafat paripatetik dari Plotinos. Kelompok ini dinamakan ahli hikmah dan fahamnya dinamakan Hikmah.
- Kedua adalah kelompok manusia yang memusatkan pemikirannya pada ilmu riwayah yang kemudian kelompok ini disebut para Fukaha, yang ilmunya dinamakan ilmu Fiqih.
- Ketiga kelompok yang mengambil logika Yunani untuk membahas masalah keyakinan dalam beragama (Ushuluddin) yang tidak hanya berkaitan dengan Tuhan, tetapi juga dengan masalah perilaku manusia. Kelompok ini menamakan dirinya sebagai Mutakalimin dan ilmunya disebut Ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dalam perjalanan sejarahnya, ternyata jarang terdengar disebut sebagai Ilmu kalam. Mereka lebih senang dengan istilah Teologi, walaupun sebenarnya cakupan Ilmu kalam itu lebih luas dari teologi. Kalau kita membicarakan teologi kemiskinan berarti yang dimaksudkan adalah bagaimana Ushuluddin dipakai untuk membenarkan terjadinya kemiskinan dan proses pemiskinan itu. (jadi seolah-olah menurut penafsiran pemikiran mereka kemiskinan adalah sesuai dengan kehendak Allah sesuai dengan Rencana Illahi?)
Ambilah satu di antara masalah dalam mutakalimin misalnya masalah Jabariyah dan Ikhtiar. Bila dicermati maka betapa serunya para ahli ramai memperdebatkannya sehingga kemudian muncul kelompok Asy’ari yang sangat cenderung mengarah pada kelompok Jabariyah dan Mutazilah yang condong kepada Qadariyah.
Walhasil apa yang dikatakan oleh para profesor dalam seminar itu adalah merupakan cerminan dari teologi Asy’ari itu bahwa kemiskinan itu adalah sudah kehendak Illahi dan kita tak akan bisa mengatasinya. Paling-paling kita hanya bisa membantu bagaimana agar orang miskin itu menerima kemiskinannya dengan ikhlas, dengan penuh ketenangan kedamaian tidak ada sedikitpun unsur pemberontakan dalam jiwanya. Hiburlah mereka dengan ceramah-ceramah yang mengutamakan hidup miskin, keutamaan menjadi orang miskin dan keutamaan dari kemiskinan itu sendiri.
Memang teologi Asy’ari sangat condong kepada pembenaran terjadinya kemiskinan dan proses pemiskinan itu.
Di sini kita perlu sedikit mengoreksi kelompok Asy’ari itu dengan sabda Nabi sendiri bahwa “Yang paling baik adalah yang sederhana.”. Yang sederhana itu maksudnya berada di tengah-tengah, tidak kaya sekali tetapi juga tidak miskin, jadi tentunya kemiskinan juga tidak dikehendaki oleh Allah juga adanya. Sebab lain adalah bisa membawa seseorang menjadi kufur, bodoh, penyakitan dan akhirnya penderitaan sedangkan manusia dianjurkan oleh Nabi agar mencari ilmu agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akherat. Jadi jelas kemiskinan itu satu kondisi yang perlu dirubah menjadi kesejahteraan.
Agaknya itulah sebabnya banyak kaum muda sekarang yang timbul kesadarannya untuk mengoreksi ajaran kelompok Asy’ari. Untuk tampil mengatasi kemiskinan yang ada di negerinya masing-masing.
Dalam surat Al A’raf ayat 157 dijelaskan bahwa ada empat tugas Nabi yang jarang sekali dibicarakan, bahkan tidak disebut orang . Tugas itu adalah :
Pertama, amar ma’ruf nahi munkar;
Kedua, menjelaskan mana yang halal mana yang haram;
Ketiga, membebaskan umat manusia dari beban yang menghimpitnya dari belenggu yang memasung mereka semua; dan
Keempat, adalah menyempurnakan akhlak atau budi pekerti umat manusia seluruhnya.
Dalam pembicaraan masalah teologi ini tampaknya kita harus secara serius dan penuh kesadaran, penuh semangat menghidupkan bagian yang ketiga. Para pembawa risalah harus berusaha maksimal membebaskan umat dari beban yang menghimpit mereka dan berbagai belenggu yang memasung mereka apakah itu kemiskinan, kebodohan, kemalasan, kejumudan dan sebagainya.
Tugas ini memang sangat revolusoner karenanya sangat jarang dibicarakan oleh para mubaligh. Abad pemikiran masih berlangsung dan kita masih perlu juga berpikir untuk meninjau kembali pemikiran para pendahulu yang sangat kita hormati.
“Allah tak akan menolong sesuatu kaum bila mereka tak mau berusaha menolong dirinya sendiri.“
Marilah kita tolong diri sendiri, agar nantinya mampu menolong orang lain, kelompok lain dan bangsa lain juga.@
No comments:
Post a Comment